Minggu, 10 Agustus 2014

Kita Bagaikan Selembar Kertas



        
         Saudaraku, ketika kita baru terlahir ke dunia, kita adalah makhluk suci tanpa noda, persis seperti selembar kertas putih tanpa setitikpun tinta. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan, otak dan hati kitapun mulai terisi dengan hal-hal yang positif maupuun yang negatif. Di masa itu kita mulai mengenal dan membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk, bermanfaat dan mudhorot, dsb. Dan selanjutnya ketika kita mulai baligh, di masa itulah kita menentukan sikap; ingin kita bawa ke mana arah hidup kita, ingin kita warnai dengan tinta apa kertas putih kita. Dalam artian lain, ingin ke arah kebaikan atau ke arah keburukan yang kita pilih, ingin kita sibukkan dalam ketaatan atau kemaksiatan sisa usia kita.
            Jika kita memilih untuk menjadi orang yang berpijak di jalan yang benar, melakukan banyak kebaikan dan kebermanfaatan untuk orang lain, menjadi pribadi yang bernilai di sisi Allah dan di sisi makhluknya. maka itu artinya kita memilih kertas putih itu dicetak menjadi  uang dan kertas putih itu kini menjadi bernilai tinggi, disukai orang banyak, dan bermanfaat untuk alat tukar/jual-beli. Berkumpulnyapun selalu dengan uang-uang yang lainnya di dompet, mesin ATM, ataupun di bank, di tempat yang aman. Sebagaimana berkumpulnya orang baik selalu bersama orang baik pula, ada yang berkumpul dengan orang yang tingkat kebaikannya sederajat, lebih rendah, dan adapula yang lebih tinggi. Sebagaimana di dompet kadang-kadang uang 50.000 berkumpul dengan sesama 50.000, ada juga 20.000 dan 100.000. tetapi ketika sudah masuk mesin ATM atau bank, maka berkumpulnya menjadi sama-sama senilai/sederajat. Orang-orang seperti ini insya Allah nanti ketika wafatnyapun di akhirat akan berkumpul di surga di tingkatan surga yang tingkat amal sholihnya sederajat/sama.
Sedangkan jika kita memilih untuk melakukan banyak kemaksiatan, terbiasa berkata/berperilaku buruk dan keji. Maka itu artinya kita memilih kertas putih itu kita corat-coret dengan tulisan-tulisan atau garis-garis tak bermakna, kertas itu dianggap sampah dan harus dibuang, bahkan harus dibakar, terinjak-injak tidak ada orang yang mau peduli, apalagi untuk menyimpannya atau memelihara kertas tak berharga itu. Kertas-kertas tak berharga itu pasti berkumpulnya adalah di tempat-tempat sampah, di jalanan kotor, dan pojok-pojok barang bekas lainnya. Ibarat orang yang buruk moral dan perilakunya tadi, mereka pasti akan berkumpul di tempat-tempat maksiat, tempat mesum, dan tempat nongkrong yang jauh dari nilai-nilai kebersihan apalagi keindahan. Kertas-kertas tak bernilai itu kalaupun masih selamat tidak dibakar menjadi abu, mereka masih bisa dibah menjadi berharga, itupun harus melalui proses daur ulang yang benar. Proses pendaur ulangan tersebut diibaratkan sebagai LP (Lembaga Permasyarakatan) atau tempat rehabilitasi, di mana orang-orang yang telah “didaur ulang” di sana diharapkan menjadi pribadi yang bisa bermanfaat untuk masyarakat dan memiliki nilai jual. Tapi apabila kertas-kertas itu terlanjur sudah dibakar, maka merekapu berakhir menjadi abu dan akan bertumpuk dengan abu-abu lainnya. Apabila orang-orang yang berperilaku buruk itu sudah terlanjur wafat sebelum bertaubat, maka pastilah mereka akan dibakar juga di api neraka bersama orang-orang yang buruk lainnya, termasuk bersama uang palsu juga, alias orang yang keimanan atau amal kebaikannya ketika di dunia itu palsu, beribadah dan beramal sholih tidak murni untuk Allah.
Mengenai kertas corat-coret dan uang palsu, ternyata uang palsu itu lebih bahaya daripada kertas corat-coret. Uang palsu itu menipu orang-orang yang tidak tahu agar barangnya dibeli, sungguh lebih merugikan orang lain daripada kertas corat-coret yang tidak bisa menipu untuk membeli barang itu. Maka dari itu di akhirat kelak orang-orang yang munafik itu tempatnya adalah di keraknya neraka (neraka yang paling dalam). Karena mereka mengaku beriman padahal imannya itu palsu, hatinya itu sesungguhnya benci kepada kebenaran dan ingin merusak Islam dari dalam, dengan cara yang tersembunyi. Sedikit sekali orang yang bisa mengenalinya, mereka berlindung di bawah khusnuzhon orang-orang Islam lainnya, tidak ada yang dapat mengenalinya kecuali orang-orang yang diberi ilmu tentang itu. Sebagaimana orang yang bisa mengetahui uang palsu hanyalah orang-orang yang diberi edukasi tentang uang palsu itu.
Satu lagi perbedaan antara kertas yang menjadi uang dan kertas yang menjadi sampah corat-coret. Uang ketika ia terjatuh dan terinjak-injak, masih akan ada yang mengambilnya dan menyelamatkannya dan kemudian disimpan di dompet lagi. Bahkan jika uang itu tersobek, orangpun masih mau untuk merekatkannya kembali dengan lem/solasi. Tetapi jika kertas corat-coret yang tidak berharga itu jatuh dan terinjak-injak, tidak ada yang mau mempedulikannya, dibiarkannya tetap terinjak-injak. Kalaupun ada yang peduli untuk memungutnya, ia pasti meletakannya di tempat sampah. Kalaupun ia robek, tidak ada satupun orang yang mau menyambung sobekannya itu, malang sekali. Artinya, jika kita menjadi pribadi yang berakhlak baik, sholih, dan bernilai di sisi Allah. Maka ketika kita sedang dalam keadaan terjatuh/terpuruk, tertindas, dan terluka, akan banyak orang yang masih mau peduli dengan kita dan menyelamatkan kita. Namun jika sebaliknya, kita menjadi pribadi yang buruk akhlaknya, bejat, kejam, dan dimurkai Allah. Maka ketika kita sedang dalam keadaan terjatuh/terpuruk, sakit, menderita, tidak akan ada orang yang mau peduli, yang ada malah mereka gembira dan bersyukur dengan keterpurukan kita, na’udzubillahi min dzalik.
Untuk mencetak kertas menjadi selembar uang itu perlu menggunakan sistematika mesin, perlu desain, perlu aturan-aturan. Sedangkan untuk mencorat-coret kertas menjadi sampah yang tidak berguna tidaklah perlu desain, tidak perlu mesin, dan tak perlu menggunakan aturan-aturan. Artinya, untuk mencetak diri menjadi pribadi yang sholih, beriman dan bertakwa itu perlu aturan (dari Alquran-Sunnah). Sedangkan untuk menjadi pribadi yang buruk akhlaknya, mereka tumbuh tanpa mengikuti aturan-aturan yang Allah buat melalui Alquran dan sunnah nabiNya. Di akhir pembahasan ini, saya mengajak kita semua saudara-saudariku, mari kita tentukan arah hidup kita, jadilah orang yang bernilai tinggi di sisi Allah dan makhluknya. Agar berkumpul dengan orang-orang sholih di surga kelak. Aamiin.

(Deni bin Mu'min)_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabatku