Membaca mental manusia sangat berkaitan
dengan komunikasi. Karena ada komunikasilah mental seseorang menjadi terbaca. Baik
komunikasi yang dilakukan oleh diri kita sendiri, ataupun kita mengamati
komunikasi orang lain. Komunikasi adalah jembatan hati. Kualitas komunikasi
yang baik ibarat jembatan yang kokoh dan megah, sedangkan kualitas komunikasi
yang buruk ibarat jembatan gantung yang labil dan rentan putus.
Bagaimana membangun jembatan hati yang
kokoh dan megah itu? Bagaimana kualitas komunikasi yang baik. Baik, mari kita
bahas. Paling tidak ada empat prinsip dalam membangun dan mempertahankan kualitas
komunikasi yang baik.
Pertama, yang boleh “menyebrangi
jembatan hati” hanyalah kata-kata yang benar, kemudian menyebrangnya dengan
cara yang baik, lalu setelah sampai ke hati kata-kata itu harus bermanfaat.
Jadi, ingat 3B (Baik, Benar, Bermanfaat). Sebagai ilustrasinya coba anda bayangkan,
ada sebuah jembatan kayu tetapi ingin dilalui oleh truk yang beratnya mencapai
25 ton. Apakah truk itu dibenarkan untuk melewati jembatan kayu ini? Tentu saja
salah kan. Bisa-bisa langsung rusak dan ambruk jembatan ini. Lalu bila saja
yang melewati jembatan itu adalah sebuah kendaraan bermotor roda dua, tetapi
anda lihat cara menyebrangnya itu dengan kecepatan 60km/jam. Hmm, memang sih
kendaraan roda dua boleh melewati jembatan itu, tapi kalau caranya tidak baik
ya akan membahayakan juga kan. Satu perumpamaan lagi, ada pengendara roda dua
yang hendak menyebrang jembatan kayu itu, caranyapun sudah baik dengan sangat
pelan-pelan dan hati-hati, tetapi orang itu ternyata membawa sebuah paket bom
dan beberapa paket narkoba. Jika saya ditugaskan menjadi penjaga jembatan itu,
atau kepala desa di seberang jembatan itu, saya akan melarang dia untuk
menyebrang ke desa saya. Karena kehadirannya itu akan membawa mudhorot yang
besar bagi warga desa di seberang jembatan ini.
Kedua, ada keseuaian antara kebenaran
dan ketepatan waktu. Maksudnya, berbicara yang benar tetapi di waktu yang
tidak tepat dapat dinilai sebuah kesalahan. Dan jika ada waktu yang tepat untuk
bicara kebenaran tetapi malah tetap diam itu juga sebuah kesalahan. Ini
ibarat seperti jembatan yang sempit, yang lebarnya hanya muat satu mobil roda
empat. Jika ada mobil yang ingin menyebrang, ia harus tahu apakah di jembatan
itu sedang ada kendaraan lain atau tidak. Jika ada kendaraan lain, maka
tunggulah sampai kendaraan itu menyebrang terlebih dahulu, baru kemudian mobil
itu bisa menyebrang dengan aman (di waktu yang tepat). Tetapi jika mobil itu
memaksa menyebrang di waktu yang tidak tepat, maka kemungkinan yang terjadi
adalah bentrokan diantara dua kendaraan itu lalu cacian dan makian timbul dari
mulut kedua sopir kendaraan itu. Begitu pula dalam keadaan yang lain, jika ada
waktu yang tepat untuk menyebrang tetapi mobil itu malah diam tidak menyebrang
juga akan mendapat cacian dan makian dari orang-orang/kendaraan lain di
belakang mobil itu yang juga ingin menyebrang. Dan itu adalah sebuah kesalahan
juga. Pahamilah baik-baik prinsip kedua ini.
Ketiga, hindarilah miskomunikasi. Strategi
yang belum disepakati akan memicu miskomunikasi dan berjalan sesuai kemauan
sendiri-sendiri. Akibatnya, jika proyeknya besar maka akan timbul
kerugian yang besar juga akibat miskomunikasi ini. Ada sebuah analogi yang
tepat untuk menggambarkan prinsip ketiga ini yang diambil dari ksiah nyata. Di sebuah
kolong tol jalur Bekasi-Cibitung ada terowongan yang menjadi jalan alternatif
para warga yang hendak menuju ke kota. Sama seperti kasus sebelumnya, terowongan
ini hanya selebar mobil/kendaraan roda empat. Karena terowongan ini ada di jalur
tikungan, maka di mulut terowongan itu ada dua tukang parkir yang mengatur
pergantian keluar masuknya mobil dari terowongan tersebut. Suatukali, saya
pernah menemukan terjadinya miskomunikasi antara kedua tukang parkir itu,
sehingga kedua mobil dari arah yang berlawanan itu sama-sama masuk ke dalam
terowongan. Kalau sudah begitu, yang ribut bukan hanya supir kedua mobil
tersebut, tetapi juga kedua tukang parkir dan para pengendara motor yang juga
mengikuti kedua mobil yang masuk ke dalam terowongan itu. Akhirnya jalan
damaipun diambil, salah satu mobil dan para pengendara motor yang terdekat dari
mulut terowongan mengalah untuk mundur. Tetapi inipun mengalami kesulitan
karena selain tikungan, jalur menuju terowongan ini juga merupakan turunan
cukup curam. Itulah akibat dari miskomunikasi, karena belum merencanakan
strategi atau karena strategi yang dipakai belum sama-sama disepakati, sehingga
mereka berjalan semaunya sendiri. Padahal bisa jadi tujuannya sama, yaitu
sama-sama ingin menertibkan lalu lalang mobil dan motor yang melalui terowongan
tersebut.
Keempat, rawatlah “jembatan hati” dan cegahlah
dari “faktor kanan-kiri.” Maksudnya, selain kita mempertahankan jembatan hati
yang sudah baik, sebaiknya kita juga mencegah dari hal-hal yang dapat merusak
jembatan hati itu. Karena yang dapat merusak jembatan bukan hanya disebabkan
oleh yang datang dari pangkal dan ujung jembatan saja, tetapi juga dari sisi kanan
dan kiri jembatan. Pernah anda lihat jembatan yang runtuh karena terseret aliran
banjir di sungai yang meluap? Ya, itulah bukti nyatanya. Dalam kehidupan
sehari-hari, selain kita menjaga hubungan komuniikasi yang baik dengan lawan
bicara, kita juga perlu membuat baik suasana di sekitar lingkungan lawan bicara
kita. Serangan perusak jembatan hati yang datang dari kanan dan kiri itu dapat
berupa fitnahan, tuduhan, ghibah, dll. Maka untuk menghindari rusaknya hubungan
jembatan hati itu, perlu diperbaiki pula faktor-faktor kanan-kiri tersebut. Cara
memperbaikinya tidak lain dan tidak bukan adalah dengan membersihkan hati dari
sampah-sampah akhlak yang ada di hati mereka. Sebagaimana banjir di sungai yang
diakibatkan karena menumpuk dan mengendapnya sampah-sampah, maka solusi nyata
yang paling efektif untuk ini adalah dengan membersihkan dan mengeruk
sampah-sampah tersebut.
(Deni bin Mu'min)_
(Deni bin Mu'min)_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar