Ada dua hal yang dapat membunuh kebahagiaan
kita, yaitu ketakutan dan kesalahan. Mungkin kita merasa bahagia saat memiliki
banyak uang di dompet, tetapi ketika kita lupa dan meninggalkan dompet di atas
meja kantor tiba-tiba kebahagiaan itu hilang dan berubah menjadi kecemasan dan
kekhawatiran karena takut dompet itu diambil orang atau takut dompet itu
terjatuh di jalan. Dan setelah kita ingat dan mengetahui bahwa dompet itu masih
ada di atas meja kerja dalam kondisi utuh, hati kitapun menjadi lega kembali. Itulah
rasa takut yang membunuh kebahagiaan kita.
Mungkin anda juga pernah merasa sangat
bahagia ketika ingin menuju ke pernikahan bersama calon pasangan hidup anda,
merancang dan membayangkan segala sesuatu yang indah bersamanya. Tetapi misalnya
tiba-tiba saja anda berbuat kesalahan dengan melakukan perzinahan sebelum hari
ijab-qobul dilaksanakan. Maka kebahagiaan itu akan sirna dan berubah menjadi
rasa penyesalan yang luar biasa, mungkin sampai seumur hidup anda. itulah
pembunuh kebahagiaan yang kedua, kesalahan.
Maka solusi yang terbaik untuk itu semua
adalah menghindari sang pembunuh kebahagiaan itu dengan bertakwa dan
memperbaiki diri. Allah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 35 yang artinya: “..maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan
perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih
hati.” Itulah kunci pintu kebahagiaan kita. Orang yang bertakwa tidak akan
merasa takut karena kedekatannya kepada Allah dan dia yakin akan pertolongan
Allah. Dan orang yang memperbaiki diri akan belajar dari kesalahannya untuk
tidak mengulangi kesalahannya itu. Insya Allah, pasti orang yang bertakwa dan
mengadakan perbaikan diri itu akan terus merasa bahagia.
Ada kisah seorang yang tidak bertakwa
tetapi dia tidak takut, dan seorang lagi tidak memperbaiki diri tapi dia tidak
bersedih hati. Ini dia ceritanya.. seorang anak konglomerat mendapatkan uang
jajan setiap pekannya Rp.1juta, dia suka berbuat dan berkata sewenang-wenang
kepada temannya dan merasa derajatnya lebih tinggi dibanding teman-temannya.
Ketika dia sedang bermain futsal dengan teman-teman sekelasnya, temannya –yang menjadi
penonton- mencuri semua uang di dompetnya itu. Kebetulan dia masih punya uang
lain yang disimpan di kantong jaketnya untuk patungan sewa lapangan dan membeli
sebotol minuman segar, sehingga belum tersadar bahwa uangnya dicuri. Sementara
itu temannya (si pencuri) telah pamit duluan dengan perasaan biasa-biasa saja. Setelah
pulang ke rumah, dia baru mengetahui bahwa uangnya hilang. Dan karena ia anak
konglomerat yang pengahsilan ortu-nya bisa mencapai 1 milyar lebih perbulan, ia
menyikapi kehilangan uang 1 juta itu juga dengan biasa-biasa saja.
Mungkin baginya kehilangan uang segitu
sama seperti kehilangan uang Rp.1000 bagi kita, tidak ada artinya. Tidak merasa
takut dan tidak mempengaruhi kebahagiaannya. Sangat mudah baginya untuk meminta
uang lagi kepada ibu/ayahnya, atau mungkin uang tabungannya juga masih banyak.
Sedangkan temannya yang mencuri tadi, dia juga tidak merasa bersedih ataupun
menyesal karena berbuat kesalahan (mencuri). Bahkan ia malah merasa senang
karena dapat membeli ini dan itu segala rupa dari uang curiannya. Karena sikapnya
itu sudah merupakan kebiasaan baginya. Mereka tetap merasa bahagia, tapi
kebahagiaan yang semu dan hanya sementara. Dan semua itu akan berakhir ketika
kematian menjumpai mereka. Itulah contoh orang yang tidak bertakwa dan tidak
memperbaiki diri tetapi tetap merasa “bahagia”. Semoga kita terhindar dari
sikap demikian. Aamiin.
(Deni bin Mu'min)_
(Deni bin Mu'min)_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar